Thursday, October 31, 2013

CERPEN

Sesaat Saja

Berdetik, waktu yang terus berlalu meski aku tak bergeming. Bergulir, hari yang terus saja berganti tanpa sanggup aku akhiri. Semua yang terjadi pergi melewatiku begitu saja, meninggalkanku. Hingga aku sadari, kini aku telah berada pada persimpangan dalam hidupku.
            Begitu banyak persimpangan yang ada dalam hidupku kini. Tampaknya aku tak bisa melewati semua persimpangan itu. Aku harus memilih salah satunya dan melewatinya untuk akhirnya aku dapat menemukan jalanku hingga aku bisa menjemput takdirku. Namun dalam setiap pilihan yang kuambil, selalu saja tak dapat kulalui dengan mulus. Bahkan kebanyakan aku harus mengambil jalan memutar untuk kembali dapat menemukan jalan rata.
            Tapi inilah hidup. Kita tidak akan pernah mendapati jalan yang mulus hingga kita bisa melalui jalan bergelombang itu terlebih dahulu.

            Adalah Rin. Perempuan yang baru datang sekitar dua minggu lalu itu muncul sebagai sosok mengerikan yang selalu menghantam otakku. Kemunculannya membawa kekacauan kemana pun ku alihkan pikiranku. Kapan pun aku melihatnya, kepalaku terkoyak, namun ada sesuatu, semacam ketenangan, yang menyelinap di batinku.
            Seakan hati ini tergerak untuk mengetahui lebih jauh tentangnya, kutinggalkan semua pekerjaanku untuk sesaat kupusatkan perhatianku kepadanya.
           
Beginilah takdir! Saat kita mulai memilih untuk mengetahui tentang sesuatu, kita harus mengabaikan yang lain terlebih dahulu, atau bahkan membuangnya.
            Aku tak menyadari jika keputusanku mengejar Rin ternyata telah menyita semua pekerjaanku. Padahal yang kukejar hanyalah bayangan Rin yang kadang hilang termakan tumpukan bayangangan yang lain, lenyap tertelan awan kabut yang gelap pekat. Dan saat tersadar, kudapati aku telah tertinggal jauh. Banyak pekerjaanku yang terbengkalai.

            Sebenarnya aku bahkan tak tahu siapa Rin, dari mana asalnya, apa latar belakangnya, aku tak tahu.
            Belakangan kuketahui bahwa Rin sudah memiliki pacar. Kenyataan ini semakin membuatku merasa bodoh. Untuk apa aku mengejar bayangan yang bahkan sama sekali tak bisa kusentuh. Akhirnya aku putuskan untuk kembali pada keadaanku semula, seperti saat Rin belum menapakkan hati di atas hatiku. Dan kuakui, ini sangatlah sulit.

-----------333----------

           
            Ada begitu banyak benda berkilauan terbenam di dasar laut di seluruh belahan dunia, namun hanya akan ada satu yang paling bersinar. Ialah mutiara yang kulihat sebulan lalu yang sampai sekarang aku masih tersilaukan oleh bias cahayanya.
            Namun kemilau itu sedikit demi sedikit kini kian meredup, karena, mutiara yang berkilau di tengah lautan berlian yang awalnya ingin kupinang itu ternyata sudah terbawa oleh penyelam lain yang sudah lebih dulu mengambilnya.
Aku sungguh menyesali ini, kenapa Tuhan menciptakan makhluk seperti itu hanya satu? Harusnya Dia ciptakan lebih banyak agar penyelam itu mengambil mutiara – mutiara lain yang sepertinya. Biarlah aku yang akan menjemput mutiara bernama Rin itu dan biar aku sendiri yang menjaga kemurnian kilaunya.

“Akh…! Sial! Sial! Sial!...”
Kenapa aku mesti terus memikirkannya?
Tidak. Aku tak bisa berdamai dengan diriku sendiri. Hati dan pikiranku saling berseteru. Hatiku terus bersikeras memenuhi keinginannya untuk mendapatkan hati Rin. Tapi logikaku menolak kehendak hatiku. Akal sehatku mengatakan bahwa tak akan ada guna jika aku terus terbayangi oleh orang yang telah berpunya.
Sadarkan aku! Sadarkan aku! Sadarkan aku bahwa yang kulihat hanyalah peri dalam mimpi indahku.

“Tolong aku…!”

?????????*****?????????

“Kurang ajar,” ujarku. “Mutiara itu diam – diam telah benar – benar memesonaku. Dia itu,,, memiliki rupa indah hingga memancarkan pesona yang tak ternilai. Andai saja ia menyadari panggilan hati ini, mungkin takkan berhenti aku mengagumi indah matanya itu. Selalu.”

Agak lesu aku masuk kerja kali ini akibat kurang tidur semalam. Di mejaku sudah ada setumpuk daftar orang – orang yang harus aku hubungi hari ini. Melihatnya saja sudah cukup membuatku mual. Ingin rasanya aku menelan semua tumpukan kertas ini agar dapat segera lenyap dari hadapanku.
Aku membolak – balik kumpulan data tersebut, saat aku tertarik pada salah satu halaman, aku menemukan sesuatu yang menarik dari data itu. Itu merupakan data tentang toko bunga kesayangan Rin.
“Bagus! Aku akan bertanya pada toko itu mengapa Rin betah berlama – lama berada dalam toko itu, sekaligus aku ingin tahu bunga apa yang menjadi favoritnya. Dan mungkin aku bisa memberinya bunga itu,” ucapku penuh semangat.
“Itu tidak perlu.”
Suara tadi begitu mengagetkanku hingga aku menyadari pemilik bibir indah yang menjadi sumber suara itu telah berdiri di depanku. Rin.
“Kamu nggak perlu melakukan itu,” katanya.
Lho, memangnya kenapa?” Tanyaku penuh selidik. Kemudian dia menjawab dengan tegas.
“Kali ini aku datang karena aku ingin kamu tahu bahwa tak usah lagi kamu bersusah payah mengejarku. Kejar saja pekerjaanmu yang keteter itu. Sebab sebulan lagi aku akan menikah. Aku juga datang karena ingin menyerahkan ini untukmu.”
Tak lama, Rin sudah pergi dari hadapku. Aku membuka amplop undangan itu. Seolah tak yakin atas apa yang terjadi, ku amati baik – baik setiap kata yang terangkai dalam undangan pernikahan  itu. Tubuhku bergetar….
.                                                                                                    


                                                                                    02/10/2010 23.30 WIB