Sesaat Saja
Berdetik, waktu yang terus berlalu meski aku
tak bergeming. Bergulir, hari yang terus saja berganti tanpa sanggup aku
akhiri. Semua yang terjadi pergi melewatiku begitu saja, meninggalkanku. Hingga
aku sadari, kini aku telah berada pada persimpangan dalam hidupku.
Begitu
banyak persimpangan yang ada dalam hidupku kini. Tampaknya aku tak bisa
melewati semua persimpangan itu. Aku harus memilih salah satunya dan
melewatinya untuk akhirnya aku dapat menemukan jalanku hingga aku bisa
menjemput takdirku. Namun dalam setiap pilihan yang kuambil, selalu saja tak
dapat kulalui dengan mulus. Bahkan kebanyakan aku harus mengambil jalan memutar
untuk kembali dapat menemukan jalan rata.
Tapi inilah
hidup. Kita tidak akan pernah mendapati jalan yang mulus hingga kita bisa
melalui jalan bergelombang itu terlebih dahulu.
Adalah Rin.
Perempuan yang baru datang sekitar dua minggu lalu itu muncul sebagai sosok
mengerikan yang selalu menghantam otakku. Kemunculannya membawa kekacauan
kemana pun ku alihkan pikiranku. Kapan pun aku melihatnya, kepalaku terkoyak,
namun ada sesuatu, semacam ketenangan, yang menyelinap di batinku.
Seakan hati
ini tergerak untuk mengetahui lebih jauh tentangnya, kutinggalkan semua
pekerjaanku untuk sesaat kupusatkan perhatianku kepadanya.
Beginilah takdir! Saat kita mulai memilih
untuk mengetahui tentang sesuatu, kita harus mengabaikan yang lain terlebih
dahulu, atau bahkan membuangnya.
Aku tak
menyadari jika keputusanku mengejar Rin ternyata telah menyita semua
pekerjaanku. Padahal yang kukejar hanyalah bayangan Rin yang kadang hilang
termakan tumpukan bayangangan yang lain, lenyap tertelan awan kabut yang gelap
pekat. Dan saat tersadar, kudapati aku telah tertinggal jauh. Banyak
pekerjaanku yang terbengkalai.
Sebenarnya
aku bahkan tak tahu siapa Rin, dari mana asalnya, apa latar belakangnya, aku
tak tahu.
Belakangan
kuketahui bahwa Rin sudah memiliki pacar. Kenyataan ini semakin membuatku
merasa bodoh. Untuk apa aku mengejar bayangan yang bahkan sama sekali tak bisa
kusentuh. Akhirnya aku putuskan untuk kembali pada keadaanku semula, seperti
saat Rin belum menapakkan hati di atas hatiku. Dan kuakui, ini sangatlah sulit.
-----------333----------
Namun
kemilau itu sedikit demi sedikit kini kian meredup, karena, mutiara yang
berkilau di tengah lautan berlian yang awalnya ingin kupinang itu ternyata
sudah terbawa oleh penyelam lain yang sudah lebih dulu mengambilnya.
Aku sungguh menyesali ini, kenapa Tuhan
menciptakan makhluk seperti itu hanya satu? Harusnya Dia ciptakan lebih banyak
agar penyelam itu mengambil mutiara – mutiara lain yang sepertinya. Biarlah aku
yang akan menjemput mutiara bernama Rin itu dan biar aku sendiri yang menjaga kemurnian
kilaunya.
“Akh…! Sial! Sial! Sial!...”
Kenapa
aku mesti terus memikirkannya?
Tidak. Aku tak bisa berdamai dengan diriku
sendiri. Hati dan pikiranku saling berseteru. Hatiku terus bersikeras memenuhi
keinginannya untuk mendapatkan hati Rin. Tapi logikaku menolak kehendak hatiku.
Akal sehatku mengatakan bahwa tak akan ada guna jika aku terus terbayangi oleh
orang yang telah berpunya.
Sadarkan aku! Sadarkan aku! Sadarkan aku
bahwa yang kulihat hanyalah peri dalam mimpi indahku.
“Tolong aku…!”
?????????*****?????????
“Kurang ajar,” ujarku. “Mutiara itu diam –
diam telah benar – benar memesonaku. Dia itu,,, memiliki rupa indah hingga
memancarkan pesona yang tak ternilai. Andai saja ia menyadari panggilan hati
ini, mungkin takkan berhenti aku mengagumi indah matanya itu. Selalu.”
Agak lesu aku masuk kerja kali ini akibat
kurang tidur semalam. Di mejaku sudah ada setumpuk daftar orang – orang yang
harus aku hubungi hari ini. Melihatnya saja sudah cukup membuatku mual. Ingin
rasanya aku menelan semua tumpukan kertas ini agar dapat segera lenyap dari
hadapanku.
Aku membolak – balik kumpulan data tersebut,
saat aku tertarik pada salah satu halaman, aku menemukan sesuatu yang menarik
dari data itu. Itu merupakan data tentang toko bunga kesayangan Rin.
“Bagus! Aku akan bertanya pada toko itu
mengapa Rin betah berlama – lama berada dalam toko itu, sekaligus aku ingin
tahu bunga apa yang menjadi favoritnya. Dan mungkin aku bisa memberinya bunga
itu,” ucapku penuh semangat.
“Itu tidak perlu.”
Suara tadi begitu mengagetkanku hingga aku menyadari
pemilik bibir indah yang menjadi sumber suara itu telah berdiri di depanku.
Rin.
“Kamu nggak
perlu melakukan itu,” katanya.
“Lho, memangnya
kenapa?” Tanyaku penuh selidik. Kemudian dia menjawab dengan tegas.
“Kali ini aku datang karena aku ingin kamu
tahu bahwa tak usah lagi kamu bersusah payah mengejarku. Kejar saja pekerjaanmu
yang keteter itu. Sebab sebulan lagi
aku akan menikah. Aku juga datang karena ingin menyerahkan ini untukmu.”
Tak lama, Rin sudah pergi dari hadapku. Aku
membuka amplop undangan itu. Seolah tak yakin atas apa yang terjadi, ku amati
baik – baik setiap kata yang terangkai dalam undangan pernikahan itu. Tubuhku bergetar….
.
02/10/2010
23.30 WIB